Dalam kasus kepailitan, kurator diberikan wewenang untuk melaksanakan pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit. Pemberesan yang dimaksud adalah penguangan harta untuk membayar atau melunasi utang. Proses tersebut dilakukan melalui pelelangan umum atau penjualan. Setelah proses tersebut selesai, kurator akan menyusun daftar pembagian harta pailit sesuai dengan Pasal 189 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam pembagian harta pailit terdapat tiga jenis kreditur, yaitu:
1. Kreditur separatis. Kreditur ini merupakan pemegang hak jaminan kebendaan seperti, gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak jaminan atas kebendaan lain. Kedudukan kreditur separatis lebih tinggi dari kreditur preferen kecuali ditentukan lain oleh undang-undang (Pasal 1133 jo 1135 KUH Perdata dan Pasal 55 ayat (1) UU 37 Tahun 2004).
2. Kreditur preferen. Kreditur ini memiliki hak mendahului karena piutangnya diberikan kedudukan istimewa. Kreditur preferen terdiri dari kreditur preferen umum dan khusus (Pasal 1139 jo. Pasal 1149 KUH Perdata).
3. Kreditur konkruen. Kreditur yang tidak termasuk kreditur separatis atau preferen sehingga tidak didahulukan dari kreditur jenis lain (Pasal 1131 jo 1132 KUH Perdata).
Bagaimana Kedudukan Utang Pajak pada Kasus Kepailitan?
Jika melihat kembali berdasarkan jenis kreditur, kreditur separatis atau disebut kreditur pemegang hak jaminan (secured creditor) memperoleh pelunasan piutang lebih dahulu dibandingkan dengan kreditur preferen kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Ketentuan ini sehubungan dengan Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
“Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.”
Berdasarkan ketentuan perpajakan, utang pajak diberikan hak istimewa, yang artinya negara menjadi salah satu kreditur preferen. Hak istimewa tersebut dapat dilihat pada Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang berbunyi:
“Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.”
Hak mendahulu adalah hak negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Hak mendahulu berlaku untuk pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Maka, pajak harus didahulukan dari piutang para kreditur separatis.
Meskipun begitu, pada Pasal 21 ayat (3) UU KUP ditegaskan hak mendahulu untuk utang pajak tidak dapat mendahului:
- biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang;
- biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
- biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Pasal 21 ayat 4 UU KUP juga menyebutkan bahwa hak mendahulu akan hilang setelah melampaui waktu lima tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Kedudukan Utang Pajak dan Upah Buruh/Pekerja yang Belum Dibayar
Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan hak istimewa pada upah buruh/pekerja yang belum dibayarkan. Pasal tersebut berbunyi:
“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.”
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana kedudukan utang pajak dengan upah pekerja, karena keduanya memiliki hak istimewa. Putusan MK 67/2013 menegaskan bahwa pembayaran upah pekerja/buruh yang terutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah. Maka dari itu, dalam kasus kepailitan, pelunasan upah buruh/pekerja yang belum dibayar didahulukan dari pembayaran utang pajak.